Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa
Sahabat tak mungkin lupa dengan lirik diatas bukan? Siapapun yang mendengar hymne guru ini pasti merinding dan pilu. Bagaimana tidak, begitu hebatnya perjuangan seorang guru menciptakan profil pelajar pancasila, menghasilkan generasi-generasi emas, berkarakter, berakhlak mulia, dari buta menjadi duta, dari kosong menjadi songsong generasi hebat.
Tubuh itu melayang semakin lenyap dari pandangan orang-orang di atas geladak. Air matanya menyatu dengan molekul sekitarnya. Tatapnya nanar namun tak lagi mampu terisak sewaktu parunya gagal berfungsi.
Harusnya bukan ini yang terjadi, harusnya ia sudah sampai daratan dan mulai mengajar. Seperti janji orang-orang bermata sipit yang mengaku saudara jauh bangsanya itu.
Potongan-potongan paragraf diatas adalah bagian dari cerpen yang dikisahkan penulis dalam lakon ngodop.com. Penulis sengaja menulis cerpen itu untuk mengenang peristiwa jugun ianfu di Indonesia pada masa penjajahan Nippon (1942-1945) yang salah satu korbannya adalah seorang guru, Guru yang harusnya dihormati dan dihargai bahkan dijunjung tinggi namanya, namun pada saat itu diperlakukan bagaikan seorang binatang.
Karena itulah, sebagai seorang guru tentunya hal ini sangat menarik perhatianku dan akan mengulasnya lebih dalam. Ketika membaca kalimat demi kalimat jiwa pendidik ku meraung tak terima dengan keadaan yang terjadi saat itu. Entah terbuat dari apa hati para mata sipit itu sehingga mereka tidak berperikemanusiaan. Tapi apalah daya, sebagai wanita lemah tentunya hanya pasrah dengan apa yang terjadi dan diperkuat dengan doa di akhir hayat hingga paru itu terpaksa berhenti berfungsi.
Jugun Ianfu adalah istilah yang ditujukan pada para wanita yang dijadikan budak seksual oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II. Menurut hasil riset, wanita yang dijadikan Jugun Ianfu tidak hanya berasal dari Jepang, tetapi juga dari Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, dan beberapa wanita Eropa di daerah koloni. Diperkirakan, jumlah Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II mencapai 20.000 hingga 30.000 wanita. Namun, ada pula yang memperkirakan jumlah sebenarnya lebih dari ratusan ribu wanita dari beberapa negara.
Para wanita yang bekerja di rumah bordil tersebut bergabung secara suka rela. Selain itu, tujuan pemerintah Jepang menghadirkan para Jugun Ianfu adalah mencegah terjadinya penyebaran penyakit kelamin di antara para tentara Jepang. Namun, dalam perkembangannya, banyak wanita yang akhirnya dipekerjakan secara paksa untuk dijadikan budak seksual. Korban pertama tentu para wanita dari Jepang sendiri, yang diperbudak di rumah bordil militer dan diperdagangkan di seluruh Jepang. Dalam perkembangannya, mereka kemudian dikirim ke luar negeri, mengikuti tentara Jepang yang bertugas.
Cara lain yang digunakan untuk bisa merekrut para wanita menjadi Jugun Ianfu adalah dengan kekerasan. Bahkan wanita yang dijadikan Jugun Ianfu banyak yang diculik langsung dari rumah-rumah di wilayah pendudukan Jepang.
Jugun Ianfu di Indonesia menurut catatan sejarah, pemerintah Jepang sudah menerapkan praktik Jugun Ianfu di seluruh kawasan Asia-Pafisik, termasuk Indonesia sejak 1942 hingga 1945. Pada awal pendudukan Jepang di Indonesia, kondisi para Jugun Ianfu sebenarnya sudah terjamin, mulai dari makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Namun pada 1943, kondisi mulai berubah, di mana pemerintah Jepang menerapkan penjatahan makanan yang cukup ketat untuk Jugun Ianfu di Indonesia.
Akibatnya, banyak Jugun Ianfu Indonesia yang semakin tertekan hingga mengalami sakit, baik fisik maupun mental. Mereka pun banyak yang harus menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara rutin. Pada 1945, ketika Jepang sudah hengkang dari Indonesia, para Jugun Ianfu dibebaskan. Salah satu dampaknya adalah menyebabkan para Jugun Ianfu tidak diterima kembali di masyarakat pasca-kemerdekaan. Ada yang kembali ke tempat asalnya, ada pula yang memilih untuk pergi jauh dan tidak diketahui keberadaannya.
Sangat menarik bukan? Untuk lebih memahami cerpen ini, yuk sahabat mari kita sama-sama
bahas unsur intrinsik dan ekstrinsik nya
1. Unsur intrinsik:
a. Tema
Tema pada cerpen ini adalah tentang perjuangan para wanita yang akhirnya mati terbunuh sia-sia.
b. Tokoh dan Penokohan
Ada tiga tokoh disini, yaitu 'wanita', 'para awak kapal', 'serdadu' dan orang-orang ‘bermata sipit’ Sebagai tokoh protagonis adalah 'wanita', sedang 'orang-orang bermata sipit' adalah tokoh antagonis.
c. Alur (Plot)
Alur atau pola pengembangan cerita pada cerpen ini adalah alur maju, mengisahkan cerita yang sangat menarik perhatian pembaca terutama aku.
d. Latar
Latar atau setting dalam cerpen ini adalah di sebuah kapal.
e. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pada cerpen ini adalah gaya bahasa penegasan, dimana gaya bahasa ini digunakan untuk menyatakan sesuatu secara tegas guna meningkatkan pemahaman dan kesan kepada pembaca serta penggunaan diksi yang indah sehingga pembaca penasaran dan membacanya sampai akhir.
f. Sudut Pandang
Sudut pandang yang dibuat pengarang dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga. Penulis layaknya sutradara yang mengetahui semua kejadiannya.
g. Amanat
Amanat dalam cerpen ini adalah agar kita tidak melupakan peristiwa yang sangat berharga pada saat kita di jajah oleh pemerintahan Jepang. Serta memberitahukan bahwa kaum wanita harusnya diperlakukan dengan layak dan bukan semena-mena.
2. Unsur ekstrinsik
a. Latar Belakang Masyarakat
Kehidupan masyarakat pribumi yang tidaj tahu apa-apa.
b. Latar Belakang Penulis
Tasya Fiane Wardah. Seorang pembelajar abadi berusia 25 tahun yang kini sedang menuntaskan pendidikan magister Ilmu Administrasi Publik di Kota Malang. Di tengah kegiatan riset tesis dan pekerjaan sebagai konsultan pemerintahan, ia memilih bergabung di OPREC Komunitas One Day One Post Batch 10 untuk kembali mengasah bakat menulisnya.
c. Nilai-nilai
Nilai-nilai yang ada pada cerpen ini meliputi nilai moral, tentang bagaimana sikap kita terhadap wanita, menjunjung tinggi wanita. Serta nilai agama tentang bagaimana bersyukur kepada Tuhan bahwa sekecil apa pun yang kita lakukan aka nada balasannya di akhirat kelak.
Begitulah ulasan cerpen Nestapa Penumpang Bahtera Nisshoki. Semoga bermanfaat ya sahabat Maya. Sampai ketemu di tulisan-tulisanku yang lainnya.
Posting Komentar
Posting Komentar