“Besok bangunnya lebih awal ya Mia, kalau perlu atur alarm biar gak kesiangan soalnya pesanan ibu lumayan banyak neh, buat wisuda anak – anak TK besok.”Kata Ibu sambil menggoreng kentang buat sambal besok.
“Alhamdulillah ya bu, jadi juga Ibu Miranda pesan sama kita, kalau gini terus aku kan jadi tambah semangat kerja nya, karena uangnya bisa buat nambah – nambah pendaftaran kuliah aku nanti bu.”
“Ya Alhamdulillah kak, tapi ngomong – ngomong itu kok kulit kentang nya ya yang di masukin ke baskom, malah kentangnya yang kakak masukin ke plastik sampah. Saking semangatnya mau dapat uang tambahan ya.” Sahut adik ku Tri yang kala itu ikut membantu ibu juga. Saat itu tawa renyah pun hadir dalam keluarga kami. Aku dilahirkan di keluarga yang sederhana, namun aku sangat bahagia karena meskipun sederhana keluarga kami selalu cukup dan Alhamdulillah gak pernah kekurangan.
Namaku Mia, aku adalah anak pertama dari kelima saudara ku, adik bawahan ku bernama Dika, selanjutnya Tri dan berikutnya Ananta dan yang terakhir namanya Amalia. Amalia anak yang paling kecil, karena itu ia sangat manja terutama padaku. Setiap kali pulang sekolah ia selalu menagih es krim padaku padahal sudah berulang kali juga ku jelaskan kalau aku ini pergi ke sekolah bukannya malah pergi kerja, tapi yah tetap saja, aku harus menyisakan uang jajan ku demi es krim untuknya. Begitu aku buka pintu dia langsung lari bahkan katanya dia sudah hafal hentakan kaki ku. Sampai segitunya ya adikku ini.
Kami sangat mencintai dan menyayangi Ibu. Karena Ibu adalah seorang Ibu yang sangat tangguh bagi kami. Siang jadi malam, malam jadi siang begitulah kami menggambarkan sosok Ibu yang tak kenal lelah demi memperjuangkan anak – anak nya. Lantas bagaimana dengan ayah? Ayahku adalah pensiunan dari PT. POS INDONESIA. Sejak Ayah pensiun Ibu rela membantu Ayah dengan berjualan sarapan di depan pasar, dan merambah ke pesanan kue dan kadang - kadang jadi juru masak di pesta – pesta, sesuai permintaan pasar. Dan kami anak – anak nya siap membantu, terutama aku. Diantara yang lain pekerjaan ku adalah pekerjaan yang paling berat. Mencuci, memasak, dan membantu meracik bumbu di sore hari.
Setiap hari aku harus bangun pukul 04.00 pagi, begitu aku bangun aku harus langsung ke kamar mandi menyiapkan pakaian - pakaian yang telah menanti kedatangan tanganku untuk dibersihkan. Kebayang kan gimana rasanya aku harus memaksa tubuhku ini untuk bangkit sementara yang lain masih terlelap dalam tidurnya. Selesai mencuci barulah aku membantu Ibu untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk menjajakn jualan Ibu di pasar. Meskipun repot Ibu tak pernah lupa menyuruh kami untuk sholat, bahkan ia rela menyiramkan air kalau dia sudah membangunkannya tapi tak bangun – bangun juga. Hal itu lah yang sering dialami adikku Dika dan Ananta. Dua anak laki – laki nya yang paling susah di bangunkan kalau pagi hari.
Hal ini lah yang paling disukai Amalia kalau ibu menyuruh mengambilkan air dari kamar mandi. Pukul 05.00 WIB, begitu adzan subuh Ibu langsung mengetuk – ngetuk pintu kamar sampai kami keluar dari kamar. Semuanya sudah keluar termasuk Ayahku, hanya tinggal adikku yang laki – laki lah yang masih belum keluar juga. Disaat semuanya sudah selesai sholat maka Amalia langsung mengambil air dengan penuh semangat.
“Seperti biasakan bu? Ya sudah Ibu gak perlu repot – repot, biar Amalia saja yang menggantikan tugas Ibu.” Amalia dengan penuh semangat membangunkan kakak – kakaknya meskipun sambil membawa air.
Tetapi Ia tidak sepenuhnya menyiramkan air itu ke wajah kakak – kakak nya. Ia masih punya hati dengan memercikkannya saja. Kalau si Dika bangun dengan cepat begitu ada percikan air di wajahnya. Nah... ini neh yang membuat kami selalu tertawa di pagi hari. Seperti biasa Ananta kalau di bangunkan selalu mengigau, biasanya dia mengigau setiap kejadian yang dialaminya, baik itu di sekolah maupun pada saat ia bermain bersama teman – temannya. Kali ini ia mengigau agak berbeda dari yang biasanya, ia malah menyentuh kaki adikku Amalia sambil memohon ampun dan berkata dalam tidurnya.
Amalia tertawa melihat tingkah kakaknya Ananta itu. Akhirnya ia tersadar dan mearasa malu pada dirinya sendiri. begitulah keseharian keluarga kecil kami, meskipun pekerjaannya berat tapi kami lalui dengan kebahagiaan, ini semua berkat Ibu yang kami sebut sebagai Matahari Malam, sebab kasih sayangnya tak pernah redup meskipun malam hari.
“Alhamdulillah ya bu, jadi juga Ibu Miranda pesan sama kita, kalau gini terus aku kan jadi tambah semangat kerja nya, karena uangnya bisa buat nambah – nambah pendaftaran kuliah aku nanti bu.”
“Ya Alhamdulillah kak, tapi ngomong – ngomong itu kok kulit kentang nya ya yang di masukin ke baskom, malah kentangnya yang kakak masukin ke plastik sampah. Saking semangatnya mau dapat uang tambahan ya.” Sahut adik ku Tri yang kala itu ikut membantu ibu juga. Saat itu tawa renyah pun hadir dalam keluarga kami. Aku dilahirkan di keluarga yang sederhana, namun aku sangat bahagia karena meskipun sederhana keluarga kami selalu cukup dan Alhamdulillah gak pernah kekurangan.
Namaku Mia, aku adalah anak pertama dari kelima saudara ku, adik bawahan ku bernama Dika, selanjutnya Tri dan berikutnya Ananta dan yang terakhir namanya Amalia. Amalia anak yang paling kecil, karena itu ia sangat manja terutama padaku. Setiap kali pulang sekolah ia selalu menagih es krim padaku padahal sudah berulang kali juga ku jelaskan kalau aku ini pergi ke sekolah bukannya malah pergi kerja, tapi yah tetap saja, aku harus menyisakan uang jajan ku demi es krim untuknya. Begitu aku buka pintu dia langsung lari bahkan katanya dia sudah hafal hentakan kaki ku. Sampai segitunya ya adikku ini.
Kami sangat mencintai dan menyayangi Ibu. Karena Ibu adalah seorang Ibu yang sangat tangguh bagi kami. Siang jadi malam, malam jadi siang begitulah kami menggambarkan sosok Ibu yang tak kenal lelah demi memperjuangkan anak – anak nya. Lantas bagaimana dengan ayah? Ayahku adalah pensiunan dari PT. POS INDONESIA. Sejak Ayah pensiun Ibu rela membantu Ayah dengan berjualan sarapan di depan pasar, dan merambah ke pesanan kue dan kadang - kadang jadi juru masak di pesta – pesta, sesuai permintaan pasar. Dan kami anak – anak nya siap membantu, terutama aku. Diantara yang lain pekerjaan ku adalah pekerjaan yang paling berat. Mencuci, memasak, dan membantu meracik bumbu di sore hari.
Setiap hari aku harus bangun pukul 04.00 pagi, begitu aku bangun aku harus langsung ke kamar mandi menyiapkan pakaian - pakaian yang telah menanti kedatangan tanganku untuk dibersihkan. Kebayang kan gimana rasanya aku harus memaksa tubuhku ini untuk bangkit sementara yang lain masih terlelap dalam tidurnya. Selesai mencuci barulah aku membantu Ibu untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk menjajakn jualan Ibu di pasar. Meskipun repot Ibu tak pernah lupa menyuruh kami untuk sholat, bahkan ia rela menyiramkan air kalau dia sudah membangunkannya tapi tak bangun – bangun juga. Hal itu lah yang sering dialami adikku Dika dan Ananta. Dua anak laki – laki nya yang paling susah di bangunkan kalau pagi hari.
Hal ini lah yang paling disukai Amalia kalau ibu menyuruh mengambilkan air dari kamar mandi. Pukul 05.00 WIB, begitu adzan subuh Ibu langsung mengetuk – ngetuk pintu kamar sampai kami keluar dari kamar. Semuanya sudah keluar termasuk Ayahku, hanya tinggal adikku yang laki – laki lah yang masih belum keluar juga. Disaat semuanya sudah selesai sholat maka Amalia langsung mengambil air dengan penuh semangat.
“Seperti biasakan bu? Ya sudah Ibu gak perlu repot – repot, biar Amalia saja yang menggantikan tugas Ibu.” Amalia dengan penuh semangat membangunkan kakak – kakaknya meskipun sambil membawa air.
Tetapi Ia tidak sepenuhnya menyiramkan air itu ke wajah kakak – kakak nya. Ia masih punya hati dengan memercikkannya saja. Kalau si Dika bangun dengan cepat begitu ada percikan air di wajahnya. Nah... ini neh yang membuat kami selalu tertawa di pagi hari. Seperti biasa Ananta kalau di bangunkan selalu mengigau, biasanya dia mengigau setiap kejadian yang dialaminya, baik itu di sekolah maupun pada saat ia bermain bersama teman – temannya. Kali ini ia mengigau agak berbeda dari yang biasanya, ia malah menyentuh kaki adikku Amalia sambil memohon ampun dan berkata dalam tidurnya.
Amalia tertawa melihat tingkah kakaknya Ananta itu. Akhirnya ia tersadar dan mearasa malu pada dirinya sendiri. begitulah keseharian keluarga kecil kami, meskipun pekerjaannya berat tapi kami lalui dengan kebahagiaan, ini semua berkat Ibu yang kami sebut sebagai Matahari Malam, sebab kasih sayangnya tak pernah redup meskipun malam hari.
Posting Komentar
Posting Komentar