Anak panah menyambar papan target berturut-turut yang dipanah oleh aku, Andre, dan Farhan. Seperti biasa kami berlatih memanah di lapangan Universitas yang sepi. Klub panahan memang selalu dijadwalkan di hari sabtu atau minggu, jadi tidak banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar lapangan.
Saat aku akan memulai panahanku lagi, dari sudut mataku, kulihat pelatih melambaikan tangannya dari pinggir lapangan sebagai isyarat agar kami menghampirinya. Aku memanggil Andre dan Farhan yang sudah terlanjur fokus dalam permainan sampai tidak melihat pelatih. Kami melepaskan alat panah kami dan menghampiri pelatih. “Ada kabar penting yang akan saya beritahu,” katanya sambil menatap kami satu persatu.
“Sebentar lagi lomba panahan pada Pekan Olahraga Nasional akan dimulai, kalian sebagai senior di klub ini akan mewakili Universitas Aramaya.” Andre dan Farhan terlihat sangat senang mendengarnya.
“Saya harap kalian berlatih lebih keras dari biasanya karena pertandingan ini berbeda dari pertandingan-pertandingan yang sudah pernah kalian lakukan sebelumnya. “
“Baik pelatih!” serentak kami menjawab.
“Yohan, bagaimana menurut mu?” Butuh beberapa detik untukku menjawab.
“Saya siap,” jawabku ada keraguan yang tersirat saat aku mengatakannya. Andre dan Farhan melirik ke arah ku dengan cemas. .
“Sepertinya kau masih belum sepenuhnya pulih dari trauma ya.” Aku tak membalas, itu memang benar.
“Pikirkanlah baik baik, aku tak ingin kau menyesal nantinya” setelah mengatakannya, pelatih membiarkan kami kembali melanjutkan latihan.
Aku mengambil ancang-ancang memanah dan menembakkan anak panah ke papan target namun malah meleset ke tanah. Sekali lagi ku lakukan dan lagi-lagi meleset, sudah beberapa bulan tembakan ku sering meleset.
Entah kapan target panic ini akan hilang, semakin hari aku merasa semakin putus asa.
***
Saat perjalanan pulang, aku, Andre, dan Farhan pulang bersama karena rumah kami kebetulan berdekatan. Sedari tadi kakiku sibuk berjalan sambil menendang kerikil yang berserakan dijalan, Andre sibuk mengunyah bakso kaki lima yang tadi ia beli di depan kampus dan Farhan sibuk menatap layar ponselnya.
Keheningan menyelimuti kami sampai akhirnya andre memulai perbincangan.
“Yohan, kau baik baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir setelah melihatku yang terlihat murung.
“Ya, baik, ” jawabku seadanya.
“Kau masih memikirkan kejadian beberapa bulan yang lalu?” Aku menatap lurus ke jalan, pikiranku melayang ke masa lalu.
Ini terjadi sekitar 6 bulan yang lalu. Kami menghadiri pertandingan panahan antar Universitas. Tak!
“Pemanah dari Universitas Aramaya meleset dari papan target” Suara dari komentator dari arah seberang dari aku berdiri membuatku semakin panik. Tanganku gemetar, keringat dingin mengucur dari dahi.
“Tenangkan dirimu, Han.” Farhan menepuk bahu ku dari belakang, ia menyadari kepanikanku. Sepanjang pertandingan aku terus melepaskan anak panah terlalu cepat sebelum siap untuk dilepaskan .
Tiba giliran Andre. “3 poin untuk Universitas Aramaya.” Komentator kembali memberitahukan hasilnya.
Akhh! Aku berteriak dalam hati. Ini gara-gara diriku karena aku membuat permainan tim menjadi buruk dari awal, aku membuat performa timku menurun.
Di akhir pertandingan komentator mengumumkan kekalahan tim kami dan kemenangan tim lawan.
Seusai pertandingan kami menghampiri pelatih yang berada di bangku penonton. Pelatih sudah melihat bagaimana jalannya pertandingan tadi. Aku tidak bisa menatapnya yang berdiri di depan ku. Aku pasti mengecewakannya, begitu juga teman setimku.
“Target panik,” ucap pelatih sambil menatapku. Target panik, mimpi buruk bagi setiap pemanah yang sekarang aku alami.
“Hei! Jangan melamun, kita sudah sampai,” panggil Andre membuyarkan lamunanku. Saat ku sadari aku sudah berada di depan pagar hitam rumahku.
Saat aku akan membuka pagar, aku membalikkan badan saat farhan memanggil ku. “Aku harap kau sudah melupakan rasa bersalahmu pada kami.” Aku terdiam sejenak. Hanya satu kata yang keluar dari mulutku.
“Maaf.” Aku menunduk. Sejak kejadian itu aku selalu merasa bersalah pada mereka. Setelah semua kerja keras yang sudah mereka lakukan, aku malah mengacaukannya.
Tiba-tiba Andre mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya. “Jangan lupakan impian kita, Han,” ucapnya dengan raut serius.
“Menjadi atlet panah yang mampu membawa medali emas pertama dengan panahan untuk Indonesia, itu lah yang harusnya kau pikirkan.”
Andre mengingatkan ku pada mimpi yang dulu kami bertiga buat. Sebenarnya dari mana impian ini dimulai?
“Apa cita cita mu?” tanya anak laki-laki berseragam putih biru yang tak lain adalah teman satu klub memanahku.
“Atlet panahan,” jawabku mantap.
“Hanya itu saja?” ucapnya sambil mengangkat satu sudut bibirnya seakan sedang meremehkan. Aku yang kesal mengerutkan alis dan membalasnya lagi.
“Memangnya cita-citamu sehebat apa?” Sambil menengadahkan kepala, aku ingin tau sehebat apa cita-citanya sampai ia beraninya meremehkan cita-citaku.
“Aku ingin membawa emas.” Aku tak menduga jawabannya, aku memiringkan kepala karena tidak mengerti apa yang dia maksud.
Pletak!
“Auchh!” erang Andre sambil mengelus kepalanya yang sakit. Seseorang menempeleng kepalanya dari belakang.
“Bicaralah yang jelas. Tidak semua orang mengerti bahasa mu yang tidak jelas itu.” Anak seumuran kami yang sedari tadi diam berada di belakang Andre akhirnya membuka suara. Kuduga sepertinya mereka sudah berteman lama.
Aku ingin tau apa maksudnya saat mengatakan emas, “Tadi kau bilang emas. Apa maksudmu?”
“maksudku adalah medali emas. Setiap atlet yang terpilih akan mengikuti olimpiade, jika menang mereka akan mendapatkan medali,” jelasnya lalu kubalas dengan anggukan.
“Kau tau Tiga Srikandi?”
Ah! Aku tau, aku pernah mendengar panggilan itu di Televisi, mereka adalah legenda panahan Indonesia.
“Tahu,”jawab ku sambil mengangguk.
“Mereka yang pertama kali memberikan Indonesia medali dengan panahan, kerenkan?” katanya dengan antusias.
“Iya! Mereka memang keren,” ucapku antusias juga.
“Tapi bukan medali emas melainkan perak, dan setelah itu panahan masih belum berhasil mendapatkan medali emas. Karena itu Andre berambisi mendapatkan medali emas itu.” Kali ini Farhan yang membuka suara.
“Kau ingin, kan? Far?” Goda Andre.
“Aku berbeda dengan mu, aku masuk klub panahan ini karena aku suka memanah”
Aku yang sedari tadi menyimak menyadari sesuatu, kami masuk ke klub panahan ini dengan tujuan yang berbeda beda. Tiba-tiba entah dari mana muncul ide gila yang terbesit di benakku.
“Bagaimana kalau kita membentuk tim dan menyatukan tujuan kita, dengan begitu tujuan kita lebih mudah tercapai,” cetusku. Andre dan Farhan terdiam sejenak, menunggu apa yang akan ku katakan selanjutnya.
“Kita bertiga yang akan membawakan medali emas untuk Indonesia dengan panahan,” ucapku penuh ambisi. Wajah mereka yang semula binggung berubah antusias.
“Ide mu tidak buruk.” Farhan setuju.
“Baiklah, ayo kita berusaha keras mulai sekarang, teman setim!” Begitu juga Andre dengan semangat membaranya.
Saat itulah persahabatan dan impian kami dimulai.
Bernostalgia membuatku tersadar akan sesuatu yang telah lama hilang, hasrat dan ambisi yang sekarang kurasakan telah kembali.
***
Harinya pertandingan, di sini kami berada, di lapangan diadakannya Pekan Olahraga Nasional nomor panahan. Aku, Andre, Farhan, dan Pelatih sedang menunggu giliran di ruang tunggu.
10 menit sebelum giliran kami, pelatih memanggil kami dan memberi saran dan kata-kata motivasi.
“Kalian sudah mengalami banyak hal, kadang menang, kadang juga kalah. Kalian sudah berlatih keras selama ini, jadi curahkan semua yang kalian bisa untuk pertandingan kali ini.”
“Baik pelatih!” ucap kami serentak.
“ … dan Yohan,” pelatih menatapku sebentar.
“Saat kau merasa cemas, ingat lah tujuan awalmu memanah, jangan panik hanya karena kesalahan kecil, aku dan rekan setimmu percaya kau akan mampu melakukannya.” Mendengar kata kata mutiara dari pelatih membuat ku tersentuh, mataku mulai panas dan memerah, rasanya air mataku
akan jatuh saat itu juga. Dengan cepat aku mengusap mataku, tidak boleh ada air mata sebelum pertandingan selesai.
“Terima kasih semuanya! Aku akan berjuang keras bersama kalian.” Semuanya tersenyum melihat semangat dan ambisiku sudah kembali seperti dulu.
“Baiklah, sekarang pergilah bertanding.”
Kami menuju lapangan pertandingan yang berada di luar ruangan. Sebelum pertandingan dimulai, kami berjabat tangan dengan lawan sebagai tanda rekonsiliasi.
Pertandingan dimulai dengan giliran lawan. pertandingan terdiri dari 3 babak, yang setiap babaknya harus melewati 3 kali permainan.
Babak pertama kami lalui dengan baik hingga menghasilkan 1 kemenangan, babak kedua tim lawan berhasil merebut kemenangan, dan babak ketiga adalah saatnya penentuan.
Andre dan Farhan sudah melakukan yang terbaik pada bagian mereka dan sekarang adalah giliran ku. Aku menarik busurku, memfokuskan ujung anak panah pada papan target dan akhirnya kulepaskan. Anak panah meluncur cepat menuju pusat papan target. Dan …
Tak!
“10 poin untuk tim curve regu putra Universitas Aramaya! Dengan begini tim Aramaya menang 5 poin dari Universitas Teknik.” Komentator mengumumkan hasil akhir yang baik bagi tim kami.
Andre dan Farhan merangkulku dengan erat sambil tersenyum lebar dan terus mengatakan ‘Kita menang'. Aku sangat senang sampai air mataku mengalir. Akhirnya kerja keras dan usaha kami membuahkan hasil.
Seusai pertandingan, kami menuju bangku penonton tempat pelatih berada. Disana pelatih menatap kami sambil tersenyum bangga.
“Terima kasih sudah melatih kami, pak pelatih” ucap ku penuh hormat padanya lalu dibalas dengan anggukan darinya.
“Selamat atas kemenangan kalian. Namun perjalanan kalian masih panjang, masih banyak rintangan yang harus kalian lewati untuk mewujudkan mimpi kalian.”
Benar, perjalanan kami masih belum selesai.
Posting Komentar
Posting Komentar