Malam ini malam pertamaku di hotel Prodeo. Sungguh, aku tak menyangka Mama tega melakukan ini padaku. Dadaku sesak, serasa berada dalam kotak yang berisikan ribuan es, dingin, sangat dingin, bahkan bibirku bergetar, kulitku mulai mengisut. Tidak ada selimut, tidak ada pelukan hangat, yang mampu ku lakukan saat ini hanya menekuk kedua kakiku, menopang dagu sembari menyebut nama Mama Sarira. Meski tubuhku gemetaran, aku tetap menyebut namanya yang juga bagian dari namaku. Sayup-sayup terdengar suara Mama, ya itu Mama. Mana mungkin aku melupakannya, 22 tahun aku hidup bersama Mama meski Ia menganggapku tak pernah ada.
Ku kumpulkan sisa-sisa tenagaku demi Mama, perlahan tanganku meraba besi-besi yang begitu dekat jaraknya. Dahaga, sangat dahaga. Kerongkongan ini memang perlu dialiri air segar setelah beberapa jam kosong karena berdebat dengan Mama, Mama pasti akan mengeluarkanku dari sini, walau bagaimanapun pastilah ada sedikit atau mungkin secuil kasih sayangnya padaku, aku yakin, aku yakin, pasti ada.
“Ma…ma, Mama akhirnya Mama datang. Sebentar ya Ma, aku akan siap-siap keluar dari sini.” Ucapku kembali bersemangat karena melihat Mama di depanku. Aku berusaha meraih tangan Mama dari balik jeruji, namun Mama menghindar, semakin jauh.
“Mampus kau, anak durhaka! Kau memang pantas menerima ini, ini hukuman untukmu. Akan ku biarkan kau membusuk di dalam sana!”
Ucapan Mama membuat hatiku hancur, badanku lunglai mencapai lantai dengan hitungan detik. Aku tahu Mama memang membenciku, sebenci ini kah Mama padaku? Padahal Aku sangat menyayanginya lebih dari diriku sendiri. Jika memang benar Mama sangat membenciku, mengapa dalam namaku ada namanya, Sarira Merindu.
Mama datang bersama lelaki itu hanya untuk menyampaikan kata-kata yang membuat hatiku hancur. Beliau pergi meninggalkanku begitu saja. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Aku sangat merindukannya, hanya ingin memeluknya sekali saja. Seberat inikah kesalahanku padanya hingga Ia menitipkanku disini, di tempat yang seharusnya bukan untuk ku, karena aku bukanlah orang yang pantas berada disini. Aku tidak ingin Mama disakitin oleh Pria yang pernah hampir memperkosaku.
Jika saja waktu itu Tante Melinda tidak mampir ke rumah kami,tentu aku sudah jadi korban perkosaan lelaki biadab itu. Mengapa Mama tidak memercayai Ku. Mengapa?
Air mata terus mengalir, suara sesegukan mulai terdengar di telinga orang yang berada satu sel denganku.
“Diam!” Serunya membentak ku.
Aku terkejut namun suara tangisku tidak dapat ku hentikan. Aku memang seperti ini jika menangis, sulit sekali menghentikannya, andai saja Papa masih hidup tentu Beliau tidak akan membiarkanku menangis terlalu lama.
“Sudah ku bilang diam ya diam, kalau ku dengar lagi suara tangismu itu, ku keluarkan isi perutmu! Lanjut wanita tua yang mungkin sudah menjadi penghuni lama di sel itu.
Kulihat perempuan paruh baya yang sedang memijatnya menutup mulut dengan jari telunjuk seolah memberitahukanku bahwa aku memang harus diam.
Ku tutup mulutku dengan kedua tangan menahan sesegukan agar tak terdengar lagi olehnya, kepalaku mulai pusing, perutku bunyi. Mungkin ini karena aku terlalu banyak menangis dan memikirkan Mama.
Tiba-tiba saja wanita tua itu bangkit dari tidurnya, dan menghampiriku. Aku menghindar ketakutan, ternyata Ia memberiku dua bungkus roti.
“Ini makan! Bibi hanya punya dua bungkus roti, setidaknya mengurangi cacingmu yang bising itu. Jadi orang gak usah cengeng, hadapi kenyataan hidup jika mau bertahan. Banyak orang yang udah bunuh diri dalam sel ini karena gak kuat menghadapi kenyataan hidup.” Jelasnya sembari memberikan kedua roti, lalu Ia kembali tidur.
Ku lihat Ia sudah sangat terbiasa tidur hanya beralaskan tikar dan selimut seadanya. Ruangan sempit dan penuh sesak ini sangat jauh dikatakan sehat. Aku tidak sanggup jika harus berlama-lama disini. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikiranku, wanita tua itu mengalihkan pikiranku akan Mama, teringat apa yang diucapkannya padaku tadi. Harus bertahan menghadapi kenyataan hidup. Ya, aku harus kuat agar suatu saat Mama tahu akan cintaku padanya.
Semalaman mataku tetap terjaga, dinginnya malam menusuk tulang-tulangku yang bertubuh kurus ini. Berbagai arah sudah ku lakukan agar mataku dapat terpejam, namun tetap saja, aku tak mampu. Bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan keadaan seperti ini, lantas aku bangun, duduk, melihat orang-orang di sekitarku. Ada yang menggaruk-garuk kan kepala, ada yang mengipasi tubuhnya padahal aku sendiri tak bisa tidur karena kedinginan, ada yang menepuk-nepuk kakinya karena di gigit nyamuk, bahkan ada yang berteriak-teriak padahal matanya terpejam.
Tanpa di sadari, ternyata ada yang mengawasi gerak-gerikku juga. Perempuan yang memijat kaki wanita tua itu mendekatiku dan mengajak ku bercerita.
“Gak bisa tidur? Kedinginan? Banyak nyamuk? Sumpek? Bau?” Ketus perempuan paruh baya itu.
“Onet, panggil saja Ncik Onet. Mereka biasa memanggilku begitu.” Sembari mengulurkan tangan.
“Ya Ncik, aku Sarira Merindu, biasa di panggil Rindu, dan aku baru pertama kalinya berada disini.”
“Tidak usah dijelaskan Ncik udah tahu kok. Kamu anak baik dan pasti sholeha, kelihatan sekali dari raut wajahmu itu, dan Ncik juga tahu pasti hatimu penuh tanda tanya mengapa sampai setua ini kami berada disni.”
Aku mengangguk kan kepala dan berharap Ncik Onet mau menceritakan apa penyebab mereka berada disini sampai setua itu, dan ku dengar-dengar lagi mereka memang bukanlah orang kriminal, lantas dengan alasan apa mereka mau tinggal disini?
Hubungan kami berdua ini adalah majikan dan pembantu, tentulah Rindu bisa membedakan yang mana majikan dan yang mana pembantu, dan pasti bertanya lagi majikan kok masuk sel? Aku tertawa mendengar Ncik Onet mengatakan seperti itu.
Majikanku atau Nyonya Ratu, namanya adalah “Ratu” dan memang pantas sebenarnya dijadikan ratu sebab Ia orang yang murah hati dan suka berbagi dengan sesama. Nyonya Ratu punya banyak harta dan juga punya beberapa orang anak, tepatnya 4 orang anak. 3 anak perempuan dan 1 anak lelaki. Awalnya mereka hidup bahagia dan tenteram. Namun karena besan atau hubunga sesama mertua semuanya berubah menjadi bencana. Perbutan harta dan kekuasaan pun terjadi. Entah apa yang membuat keempat anaknya berubah hingga lebih memercayai orang lain dari pada Ibunya sendiri. Nyonya Ratu memang sudah terbiasa mengelola semua keuangannya dan terbukti kesemuanya itu terkendali dengan baik.
Himgga suatu hari besan dari anak lelakinya itu mengambil alih dan mengendalikan semuanya. Nyonya Ratu heran bahkan sampai syok mengapa semua ini bisa terjadi. Beliau mulai mengusut masalah ini dan akan memulihkan semuanya. Karena itulah Beliau mulai merencanakan ini, berpura-pura meninggal karena kecelakaan dan lebih memilih tinggal di hotel Prodeo ini agar dapat terencana dengan baik, karena besannya itu sangat licik. Pihak polisi pun sudah bekerja sama dengan Beliau, dan Beliau sendiri menyuruh menyampaikan ini padamu padahal sebenarnya ini adalah rahasia. Hal ini terkait karena lelaki yang bersama Ibumu itu adalah besannya, karena itulah Beliau sempat takut tadi dan kami berbalik arah.
Anehnya lagi, anak-anak Beliau tidak menaruh curiga sedikitpun perihal yang terjadi saat ini. Dan atas laporan satpam, orang yang sengaja dibayar Nyonya Ratu untuk dijadikan mata-mata, mereka memberikan ramuan yang membuat anak-anaknya lupa akan Ibunya, dan mungkin termasuk Ibumu secara perlahan akan mulai melupakanmu juga. Berbagai hal dilakukan untuk memusnahkan ramuan itu, namun tetap saja tidak satupun berhasil memecahkannya, bahkan sampai saat ini keempat anak Nyonya Ratu masih dalam kendalinya.
“Hei! Serius amat sih. Dengar cerita Ncik tadi atau kamu menghayal?”
“Ah, Ncik Onet ini, Rindu sampai terkejut loh. Ya pasti dengerin lah, ya sambil menghayal juga, sebenarnya ramuan apa sih yang diberikan untuk anak-anak Nyonya Ratu sampai lupa diri gitu.”
“Itulah yang menjadi permasalahannya, karena itu juga Nyonya Ratu ingin kembali secepatnya ke istananya itu. Sudahlah tidur, udah larut malam ini. Ncik onet juga udah ngantuk, besok pagi kan harus bersihkan rumput.”
Mendengar cerita Ncik Onet, aku menjadi semakin takut akan kehilangan Mama. Sebelum kenal lelaki itu Mama sudah sangat membenciku terlebih jika Ia sudah kenal dekat, entah apa yang terjadi pada Mama sekarang. Aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa semoga Allah memberikan jalan atas semua ini.
Pukul 03.00 WIB. Aku kembali bersujud pada Allah swt berharap semuanya akan baik- baik saja bahkan lebih baik dari sebelumnya. Tahajud, memang sering kulakukan saat sepertiga malam. Namun tahajud kali ini sangat berbeda, ada penghayatan lebih mendalam untuk Mama tercinta. Dan aku yakin meski sedikit harapan pasti ada rasa sayang Mama untukku.
Berulang kali kusebut nama Mama dalam doaku, semoga Allah mengabulkan doa-doaku malam ini. Tiba-tiba saja Aku teringat Tante Melinda temannya Mama itu, siapa tahu Ia bisa bantu kami. Ya sudahlah lebih baik malam ini aku tidur dan besok akan ku telepon Tante Melinda.
Suara ketukan petugas membelalakkan mataku, aku sangat terkejut berharap ini semua hanya mimpi dan ternyata aku masih di tempat yang sama. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya karena ini lah yang harus ku lalui saat ini dan entah sampai kapan.
Petugas menyuruh kami mandi dan setelah itu sarapan lalu kami harus membersihkan kebun yang ada di belakang sel, semuanya harus dalam pantauan tanpa terkecuali termasuk Ncik Onet dan Nyonya Ratu. Hal ini dilakukan agar tidak ada orang yang menaruh curiga pada mereka padahal mereka bisa saja langsung keluar dari tempat ini.
Setelah selesai semuanya, ada seseorang yang akan menemui ku. Aku menduga-duga siapa orang itu, apakah Mama mengunjungiku lagi, tetapi rasanya tidak mungkin. Lebih baik ku temui orang itu mungkin saja membawa berita bagus atau bahkan mengeluarkanku dari sini.
Ternyata orang itu Tante Melinda. Tante datang membawa kabar duka sekaligus kabar gembira. Mama mengalami kecelakaan dan mobilnya masuk jurang, di pastikan Mama tidak selamat dalam kecelakaan itu karena mobilnya hancur lebur, namun mayat Mama belum di temukan. Sebelum terjadi kecelakaan, Mama sempat bertengkar hebat dengan lelaki itu perihal ramuan, entah ramuan apa Tante Melinda sama sekali tidak memahaminya.
Aku menangis histeris, ku peluk erat Tante Melinda hingga kemejanya basah karena kucuran air mataku. Bagaimana mungkin ini semua terjadi padaku belum sempat aku membahagiakan Mama, Beliau telah pergi meninggalkanku. Tante Melinda memberikan surat pencabutan tuntutan kepada pihak Kepolisian yang memberitahukan bahwa sebenarnya aku tidak bersalah, bukan aku yang mencuri berlian Mama tetapi lelaki itu. Mama hanya kemakan omongan lelaki jahanam itu hingga aku masuk hotel Prodeo ini.
Mama juga sempat mengatakan kepada Tante Melinda bahwa Mama meminta maaf padaku karena perbuatannya selama ini. Mama melakukan hal seperti itu hanya karena Mama merasa cemburu bahwa aku adalah anak dari selingkuhan Papa. Papa sangat menyayangiku, begitu juga dengan Mama. Apa pun permintaan Mama pasti akan dipenuhi oleh Papa. Sayangnya Papa meninggal karena serangan jantung, sebab waktu itu Mama mendorongku hingga kepalaku berdarah.
Sejak saat itu Mama semakin membenciku, meski aku tetap menghormati Mama seperti Ibu kandungku. Ibu meninggalkanku selama-lamanya sejak aku dilahirkan, karena itu Papa membawaku pada Mama mengingat Mama juga belum memiliki keturunan. Walau bagaimana pun keadaannya dan seperti apa Mama, Beliau tetaplah Mamaku. Aku yakin Ia juga menyayangiku.
Pernah suatu hari karena demam dan pada saat itu suasana hujan deras, gemuruh saling bersahutan. Aku memeluk Mama dan Mama mencium keningku. Namun, entah apa yang terjadi padanya, Ia lantas mendorongku, air mata bukanlah satu-satunya hal yang membuatku perih, bahkan hatiku sangat pedih karena luka yang di torehkan orang tuaku sendiri.
Kabar kematian Mama akhirnya sampai di telinga Ncik Onet. Ia bingung pada saat itu sedih sekaligus gembira. Sedih karena aku harus kehilangan Mama dengan kematiannya yang mengerikan, gembira karena lelaki yang bersama Mama itu juga meninggal. Keempat anak Nyonya Ratu akhirnya sadar dan bebas dari ramuan yang selama ini “membutakan” mereka.
Aku dan Tante Melinda akhirnya kembali ke rumah dan kutemukan secarik kertas di depan rumah yang bertuliskan “Sarira Merindu” dengan lumuran darah.
Sarira Merindu
Karya Maya Fasindah
Mama, di sudut kamar sepi aku termangu seorang diri
Aku merindumu, rindu akan kemarahanmu
Rindu akan tanganmu yang selalu menjatuhkan jatah makanku
Mama, aku sedih ketika orang mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu
Aku sedih karena terlalu banyak onak duri yang menjadi rintangan dalam mencari jati diri
Aku sedih tatkala Mama memandang rendah kemampuanku
Mama, kau dengar suara apa itu?
Suara hati yang sedang berada di ruang….
Bimbang?
Rindu?
Bahagia?
Cinta?
Sayang?
Haruskah Matahari bilang bahwa dirinya bercahaya, ketika dia sedang tersenyum di siang
hari?
Haruskah rembulan melukis angkasa untuk sekedar berbicara keindahan?
Atau haruskah Alam menyentuh ragamu dengan jarum-jarum air langit?
Tidak Mama TIDAK
Karena aku punya satu nama
Sarira Merindu
Posting Komentar
Posting Komentar